Aksi Musisi Jalanan

Sebagai penikmat layanan transportasi publik, keberadaan para musisi jalanan yang lazim dilabeli sebagai pengamen tentu saja menjadi santapan saya sehari-hari. Dari bis tiga perempat bermerek kopaja dan metromini, kereta listrik, sampai bis berpendingin yang dulu hanya ditunggangi kaum eksekutif tak bisa lepas dari suguhan musik mereka. Belakangan, selain menghiasi lampu merah, korps pengamen juga mulai rajin menyambangi angkot. Duduk seadanya di tepi pintu, dengan lagu sekenanya. Dalam hitungan menit, tangannya menengadah meminta sedekah.

Beragam jenis pengamen di pasaran. Yang menyebalkan tentu saja golongan berkedok, hobinya nyanyi asal-asalan lebih merusak organ pendengaran dan hati *karena ada adegan hati mengamuk tapi gak bisa berbuat apa-apa*. Jenis ini biasanya musti diusir dengan kepingan (sekarang meingkat jadi lembaran seribuan) receh, atau siap-siap disembur makian.

Tentu saja di antara tumpukan sampah masih ada yang berharga untuk diuangkan. Dalam perjalanan menjadi commuter, nyatanya masih ada kelompok pengamen yang layak dicermati dan dinikmati kemampuan bermusiknya. Adalah bis patas AC yang banyak melahirkan pengamen ragam ini. Selain berpenampilan manis, suara dan kemampuan mereka menyenandungkan tembang berbahasa Inggris juga cukup fasih.

Ada satu pengamen langganan di bis yang biasa saya tumpangi menuju PP, suaranya menyerupai Bryan Adams, berkostum khas kasual dengan aksesori topi *fedora, pet maupun topi baseball* dan senjata andalan gitar sakti. Biasa melansir hits terkini tanah air, pengamen satu ini agaknya memiliki tempat di hati penggemarnya *baca: penumpang bis* yang ditandai dengan sambutan antusias berupa lungsuran recehan dalam kantong permen yang diedarkan usai menyanyi.

Suatu hari, terkait event yang bakal digelar seorang teman, saya beranikan diri menyapa Bryan Adams bertopi ini. Niat hati mengundang buat unjuk aksi, nyatanya saya dibuat terperangah dengan pembeberannya: mo sendiri apa sama band? Hah? Bryan Adams ini punya band juga ternyata, dan dia biasa berlatih setiap hari bareng band-nya. Karenanya, jam ngamen dia dibatasi sampai jam sepuluh pagi karena kuwatir kecapean. Tarif ngamennya bareng band? Satu sampai dua juta rupiah.

Kekagetan ini belum sepenuhnya pulih, ketika suatu hari dia menyodorkan CD berisi demo lagu bikinannya. Tiga lagu dia rilis dalam CD itu, lumayan gak mengecewakan. Minat?

Kali lain, pengamen di bis yang sama tapi dengan penampilan berbeda. Kostumnya hitam, perawakan kurus dan bersih. Nomor romantis besutan Christian Bautista diluncurkan dengan lancar tanpa cacat. Penasaran, dan atas sebuah kesempatan yang tersedia, saya berhasil melakukan satu wawancara dengan si hitam berkulit putih ini. Hasilnya? Si hitam berdarah Sunda ini juga biasa ngamen di kafe.

Mon Dieu !!!

Agaknya, para musisi jalanan ini tak hanya beraksi untuk sepiring nasi. Peluang memasarkan diri ternyata mereka tangkap dengan jeli. Terbukti beberapa kali mereka mendapat tawaran dari beberapa penumpang yang terkesima dengan aksinya. Jangan-jangan, mereka sudah membekali diri dengan ilmu Marketing Yourself-nya Hermawan Kartajaya ... f(",)
Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

3 comments:

Akhmad Fathonih said...

Wah keren juga. Sampe berbekal ilmu marketing segala. Segmen dipilih dengan tepat. Haha, insightful story!

ipied said...

jadi teringat sama duet pengamen yang masih muda dan ganteng yang sering saya jumpai juga di bis 610.

sosok mahasiswa dengan baju masa kini dan rapih di rompinya berjejer pin keren. nyanyi lagu orang tapi sudah di modifikasi dengan tambahan lagu rap sesuka mereka. tapi bikin lagu menye2 jadi keren. hahahaha.... dan ternyata mereka punya band juga :p

e-no si nagacentil said...

@Toni : iya tuh, tapi menghibur secara nyanyinya keren gitu.
@ipied: ternyata banyak yak hehehe