Kartini Kini, Kartini Digital

Ada yang salah dalam memaknai Hari Kartini.


potret Kartini dari wikipedia
Semasa kecil, peringatan hari pejuang kaum perempuan Indonesia sering ditandai dengan kebaya dan konde serta arak-arakan karnaval sambil nyanyi: Ibu kita Kartini.... putri sejati! Menyenangkan sih, tapi seiring waktu merambat kian menyadarkan saya bahwa memaknai 21 April lebih dari sekedar kebaya! Emansipasi? Itu salah satu yang digembor-gemborkan dan (kerap) jadi boomerang bagi kaum perempuan sendiri. Misalnya ketika hak-hak perempuan seperti tidak berlakunya cuti haid bagi pegawai perempuan atau kemudahan mendapat tempat duduk di kendaraan umum mendadak dihapuskan atas nama emansipasi. Bukan, bukan itu maksudnya....


Saya bersyukur tidak hidup di pulau Jawa pada awal 1900 dan kehilangan masa remaja saya karena (barangkali) musti menjadi istri.  Karena, bisa aja saya gak seberuntung dan senekad Kartini yang berpikiran maju meski mungkin realisasinya bukan hal gampang sehingga Kartini cukup berpuas diri hanya dengan menuangkan pikirannya pada sahabatnya Stella.  Pikiran kritis perempuan Jawa yang tunduk menjadi istri ketiga seorang bupati, yang kita kenal terangkum dalam buku bertitel Door Duisternis tot Licht,  dan dipercaya sebagai buah pemikiran Kartini.


Hamdallah, saya terlahir satu abad setelah kelahiran Kartini dan kini bisa menikmati perjuangannya (yang juga dilakukan rekannya sesame perempuan seperti Dewi Sartika).  Bisa mengantongi ijazah sarjana, wara-wiri di hutan beton Jakarta dengan status working woman, eksis di aneka event yang juga banyak digawangi oleh kaum perempuan. Dan, semakin pula saya menyadari betapa perempuan yang kerap diasosiasikan sebagai “sekolah” penentu kualitas generasi kini makin terliat unjuk taring dengan memanfaatkan teknologi informasi, dua kata yang sejak era Y2K menjadi “dewa baru” di tanah air.


Siapa yang gak kenal twitter? Microblogging yang kerap dilabeli “tempat nyampah” ini nyatanya jadi medium ampuh bagi seorang Ainun Chomsun, ibu satu puteri ber-ID @pasarsapi ini kini dikenal sebagai Kepala Sekolah Akademi Berbagi.  Gerakan sederhana mengumpukan para pakar, mereka yang haus ilmu, serta orang-orang berhati mulia penyedia tempat belajar.  Semudah itu, kini bukan cuma warga Jakarta yang bisa menambah pengetahuan dalam banyak bidang. Akademi Berbagi merambah hingga ke luar Jawa!


Di ranah kicau ini pula kita mengakrabi nama-nama seperti @justsilly yang identik dengan #BFL (blood for life, sekantung darah bagi yang membutuhkan), @inagibol yang dengan gaya nyeleneh-nya gak bosan-bosan mengingatkan kita untuk #berbagi (dan bukan sekedar kata!).  Jangan lupakan juga dua perempuan cantik di balik @coinachance, gerakan pengumpul receh untuk pendidikan adik kita: Nia dan Hanny (keduanya memiliki akun @nsadjarwo dan @beradadisini).  Mereka adalah sedikit dari banyak nama yang mungkin belum tersebutkan dan di mata saya layak menyandang gelar Kartini Digital.  Sentuhan jemari mereka di belantara dunia maya, adalah penggerak aksi sosial yang menginspirasi dan menebar manfaat bagi sesama.


Para Kartini digital, perempuan yang cerdas dalam menggunakan teknologi informasi sebagai media berkarya.  Setiap dari kita, kaum Hawa, juga sesungguhnya Kartini Digital.  Seorang ibu yang gak pernah bosan merambah peramban demi membekali anaknya pendidikan terbaik, juga layak disebut Kartini Digital.  Bahkan mungkin saya, yang hanya bisa menuliskan pemikiran via blog juga boleh kan mengaku sebagai Kartini Digital?



Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: