Kartini dan Kontroversi

Sebelum April habis, boleh ya kalau saya mengulas satu film yang diluncurkan tepat dua hari sebelum peringatan kelahiran ibu kita ini?



Satu lagi karya Hanung Bramantyo yang menuai kontroversi: judulnya Kartini, sesuai dengan nama pahlawan emansipasi yang diangkat menjadi sentra film ini. Berbeda dengan Perempuan Berkalung Sorban atau "?" yang sarat muatan liberalis (buat sebagian orang), Kartini sempat tertimpa kampanye negatif secara subyektif karena pemeran utamanya. Sementara, sebagian lagi menyemburkan pujian maupun kritik obyektif dari sisi sinematografi, cerita, dan tentu saja akurasi. Meski kisah epik tentang putri Jepara ini sudah khatam berulang setiap tahun sejak jaman SD (tentu aja makin ke sini versinya kian beragam termasuk kajian Kartini dari pandangan feminis maupun agamis), tetap aja saya penasaran sisi mana yang akan digarap Hanung ya...

Liat trailer-nya dulu ya....



Gak perlu sinopsisnya kan? Lha wong cerita hidupnya selalu jadi bahan kajian tahunan kok.  Lebih baik cek daftar casts dan tebak kira-kira apa peran Reza Rahadian di film ini. Y(^__^)

Dalam Kartini, ada reuni Pasir Berbisik yang menyatukan Christine Hakim dan Dian Sastro kembali. Jangan pertanyakan kualitas tante Christine yang udah menggotong piala Citra sebelum kita lahir. Lebih baik fokus pada kebesaran hati Ngasirah yang diperankannya saat menyerahkan harta paling berharga berupa anak dan harus menahan perasaan bertahun-tahun dengan status babu. Sesungguhnya, siapkan juga tisu dan ambil posisi di pojokan yang gak terlalu terekspos kalau kamu gak mau kepergok lagi terisak-isak sedih menjelang film berakhir. 

Banyak kutipan bagus dari dialog dalam Kartini.  Beberapa dari kamu mungkin udah pernah menjadikannya bahan tweet atau #PathDaily ya? 

Saya gak tau gimana awak film (utamanya penulis skenario dan sutradara) menggali karakter Kartini sehari-hari. Tapi, simbol pemberontakan berupa sikap membangkang Kartini yang jauh dari keanggunan perempuan kelas atas Jawa pada umumnya memang sempet bikin penasaran apa bener Den Ayu kelakuannya kayak gitu pada jamannya ya?

Mungkin Kartini di tangan Hanung udah mengalami modifikasi kepribadian. Jika di kisah sejarah lebih banyak digambarkan penuh kepasrahan, film ini justru mengangkat keperkasaan perempuan muda yang juga seorang daddy's little girl. Meski saya menganjurkan kamu menyiapkan bahu untuk bersandar sehelai kertas tisu untuk diam-diam menghapus air mata, ending Kartini tetep happy kok. Gak ada kisah menye-menye kematiannya sebagai ibu muda karena pre-eklamsia seperti dugaan saya. 

Oh ya, buat yang semalem kebetulan satu bioskop sama saya maafkan kalau spontanitas tertawa yang membahana karena satu adegan naksir-naksiran dari salah satu penguasa pada adiknya Kartini, yaitu Kardinah. Bukan apa-apa, sungguh gak menduga kalo aktor pemeran Dimas Ario ini identik dengan peran konyol FTV hahahaa.. Mungkin ini salah satu cara mencairkan suasana ya?

Dan, oh ya usaha para pemeran meleburkan lidahnya ke dalam bahasa Jawa yang gak terlalu kaku cukup okelah meski beberapa kali Dian masih rada janggal melafalkan kata kalih misalnya. Menurut kamu, setelah ini bagusnya pahlawan nasional siapa lagi ya yang asyik buat diangkat ke layar lebar?


Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: